Minggu, 22 Juni 2008

Gurandil pongkor

Mengenal Fenomena PETI di Kawasan Pertambangan Emas Pongkor
Iskandar Zulkarnain
TEWASNYA 13 gurandil yang sedang menggali emas di kawasan konsesi PT Aneka Tambang di Gunung Pongkor, yang termasuk wilayah Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, menyisakan berbagai pertanyaan bagi orang yang tak mengenal fenomena PETI di kawasan pertambangan.
KATA PETI sering dipakai sebagai singkatan penambang emas tanpa izin, yang di kawasan pertambangan emas Pongkor lebih dikenal dengan sebutan gurandil atau tikus. Namun, kalangan pertambangan lebih suka mengartikan >small 2small 0< itu sebagai penggali tanpa izin karena mereka hanya menggali, yang tidak dapat dikategorikan sebagai menambang.
SECARA hukum kegiatan PETI adalah ilegal. Itu sebabnya mereka kerap disebut pula sebagai penggali liar. Mereka menggali di kawasan yang, secara hukum, telah menjadi wewenang dan hak suatu perusahaan yang memiliki izin penambangan atau Kuasa Pertambangan (KP) di daerah itu. Di samping merugikan perusahaan, penggalian oleh PETI sering tak mengindahkan keselamatan mereka sendiri, apalagi lingkungan alam, yang pada akhirnya akan menjadi beban bagi sang pemilik KP. Karena itu, kegiatan ilegal ini melahirkan ketegangan dan konflik antara PETI dan perusahaan
Kehadiran PETI di suatu kawasan pertambangan merupakan fenomena yang sama tuanya dengan pertambangan itu sendiri. Namun, >small 2small 0< tidak hadir pada penambangan semua komoditas. Mereka muncul dan berkembang hanya pada komoditas tertentu.
Daftar panjang sejarah aktivitas PETI menunjukkan mereka umumnya hadir di kawasan pertambangan emas bertipe endapan urat (epithermal), tetapi tidak pada tipe endapan emas acak (disseminated) seperti yang ditambang oleh Freeport di Papua. Komoditas lain yang banyak berurusan dengan aktivitas PETI ini adalah timah, seperti di Bangka, dan batubara, seperti di Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Walaupun penggalian liar banyak terjadi pada komoditas nonlogam, seperti pasir-batu, dan melibatkan banyak uang, intensitas konflik yang terjadi di kawasan ini tidak terlalu mencolok.
PETI di Pongkor
PETI di Pongkor terkait dengan PT Aneka Tambang Tbk. Dalam hal ini adalah Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor (UBPEP) yang mengantongi izin KP eksploitasi sejak 10 April 1992 untuk jangka 30 tahun. Kawasan KP ini semula seluas 4058 hektar kemudian diperluas menjadi 6047 hektar yang terdiri atas Taman Nasional Gunung Halimun, lahan Perhutani, dan lahan masyarakat. Daerah penambangan Pongkor ini terletak di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, yang dapat dicapai dari Jakarta melalui Bogor, Leuwiliang, dan Sorongan sekitar tiga jam dengan mobil (Gambar 1).
PT Aneka Tambang adalah satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi mineral logam di Indonesia. Komoditas andalan mereka saat ini adalah nikel dan emas. Temuan cadangan emas Pongkor ini-hingga saat ini merupakan yang terbesar di Pulau Jawa-semakin mengukuhkan nama PT Aneka Tambang sebagai satu-satunya BUMN yang bergerak dalam bidang industri pertambangan, setelah mengekspor feronikel, nikel kadar tinggi dan beberapa variannya, melalui pabrik mereka di Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
Selain memberi keuntungan besar, temuan ini juga menuai persoalan sosial dan ekonomi yang rumit dengan maraknya PETI. Kegiatan PETI ini berawal ketika PT Aneka Tambang Tbk memulai eksplorasinya di Pongkor pada 1988. Waktu itu bentuk kegiatan dan intensitasnya masih bisa diabaikan. Mereka umumnya pendatang dari Cikotok yang sudah berpengalaman dan penduduk lokal yang belajar dari para pendatang itu.
Ketika perusahaan mulai beroperasi dan berproduksi, jumlah mereka bertambah. Jumlahnya masih dalam orde puluhan sampai ratusan sehingga kegiatan mencuri "batu emas" dengan membuat lubang galian yang menembus "urat emas" milik perusahaan belum menimbulkan persoalan yang kentara bagi perusahaan.
Di Pongkor, PT Aneka Tambang menambang bawah permukaan karena sebagian besar kawasan termasuk wilayah Taman Nasional Gunung Halimun yang ekosistemnya tidak boleh diganggu. Karena itu para gurandil terpaksa membuat lubang atau sumur sehingga bisa mencapai "urat emas" yang mereka inginkan.
Namun, pada tahun 1997, seiring dengan awal krisis ekonomi di Indonesia, jumlah gurandil meningkat pesat. PHK dan mudahnya mendapat uang dengan bekerja sebagai gurandil diisyaratkan sebagai penyebab utama peningkatan jumlah gurandil di kawasan ini.
Sekitar 70 persen gurandil adalah pendatang dari dalam Provinsi Jawa Barat sendiri (Cikotok, Salopa, Tasikmalaya, Sukabumi, Bogor, dan Rangkasbitung) dan dari luar, seperti Bengkulu, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Timur. Hanya 30 persen yang berasal dari sekitar kawasan pertambangan itu: Desa Bantar Karet dan Desa Cisarua.
Yang menarik, sejumlah gurandil adalah karyawan PT Aneka Tambang yang mengundurkan diri. Pemeran lain adalah aparat keamanan yang membuka akses dan memberi perlindungan bagi orang-orang yang bekerja sebagai gurandil.
Jumlah PETI atau gurandil mencapai puncaknya pada tahun 1998-1999. Diperkirakan 6.000 gurandil menjarah kawasan pertambangan emas PT Aneka Tambang di Pongkor. Mereka menguasai hampir 200 hektar areal pertambangan yang tersebar di beberapa daerah prospek: blok Kubang Kicau, Cicurug, Gunung Butak, dan Pasirjawa.
Ketegangan PETI dengan perusahaan mencapai puncaknya pada Desember 1998: kerusuhan yang membumihanguskan kompleks dan fasilitas kantor UBPEP di Sorongan. Akibat kerusuhan ini, PT Aneka Tambang berhenti berproduksi selama 10 hari dengan kerugian negara mencapai miliaran rupiah.
Tahun 2000 jumlah gurandil mulai berkurang. Penyebabnya barangkali adalah lubang galian menemukan urat emas yang semakin dalam dan pengamanan yang diperketat di daerah itu.
Tiga tahun kemudian, pada tahun 2003, jumlah gurandil yang beroperasi tinggal 150 orang. Beberapa di antara mereka masih bertahan di bantaran sungai dekat Kampung Ciguha dengan menggarap lumpur bekas olahan beberapa tahun sebelumnya (Foto 1). Mereka bertahan dengan kegiatan itu-walau hasilnya tak bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal-karena tidak punya pilihan yang lebih baik.
Keselamatan
Para PETI yang tidak mengindahkan keselamatan mereka ketika menggali terlihat dari ukuran lubang yang mereka buat untuk mencapai urat emas. Lubang yang mereka gali, baik berupa sumur maupun berupa terowongan, berukuran hanya selebar badan manusia. Ketika sudah tiba di dasar lubang, mereka tak mungkin lagi membalikkan badan. Semua lubang mirip jalan searah dan satu-satunya yang dapat dilakukan untuk berbalik arah adalah jalan mundur.
Lubang yang berupa terowongan dimasuki hanya dengan berjalan jongkok. Beberapa PETI menggunakan blower untuk mendapatkan udara yang berganti. Sebagian besar sebetulnya tak peduli dengan sirkulasi udara sebab membuat blower butuh biaya besar, sementara mereka tak mengantongi cukup uang. Pada titik inilah pemodal datang melumuri para PETI dengan uang.
Bahaya yang lebih besar dan akut datang dari cara mereka mengolah batu emas. Mereka menggunakan air raksa untuk menarik emas dari batuan. Proses amalgamasi ini berpotensi besar mencemari lingkungan. Untuk mendapatkan emas dari senyawa bullion (campuran emas dan perak), mereka terlebih dulu menghancurkan batu emas dengan palu hingga diameternya 1 sentimeter. Butiran batu emas ini kemudian dimasukkan ke dalam gelundung, yakni wadah berbentuk silinder yang kedua ujungnya ditutup dan di dalamnya diletakkan beberapa potong baja sebagai alat penggerus (Foto 2).
Butiran batu emas itu dimasukkan ke dalam gelundung. Mediumnya air. Di dalamnya ditambahkan air raksa kemudian digerus dengan cara memutar gelundung dengan mesin maupun kincir air. Penggerusan ini berlangsung selama 8 hingga 12 jam untuk mengubah batu emas menjadi lumpur kental, pasta.
Pasta itu kemudian disaring untuk mendapatkan air raksa yang kini sudah mengandung emas. Kumpulan air raksa itu kemudian diperas dengan kain berpori untuk memisahkannya dari bullion yang ia kandung (lihat Gambar 2). Pada waktu pemerasan ini, sebagian air raksa sering terbuang ke sungai maupun kolam tampung. Lama-kelamaan lingkungan sekitar tercemari. Bila ini berlangsung cukup lama, air raksa tidak hanya meracuni lingkungan, tetapi juga orang-orang yang tinggal di daerah tersebut. Bahaya pencemaran logam berat seperti ini mengingatkan kita pada tragedi Minamata di Jepang yang telah menyebabkan bayi cacat satu generasi.
PETI di kawasan pertambangan menciptakan persoalan rumit. Peran pemerintah daerah dengan mengajak perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat melalui program pembangunan masyarakat barangkali merupakan jawaban komprehensif bagi persoalan ini. Di balik semua itu, komunikasi dengan keterbukaan tampaknya kunci untuk menyelesaikan masalah ini.
Iskandar Zulkarnain Peneliti LIPI bidang Pertambangan Puslit Geoteknologi LIPI, Bandung

1 komentar:

radyan prasetyo mengatakan...

allo senang bisa ketemu sesama orang pongkor di blog ini... sy tunggu artikel update selanjutnya...

salam...

radyan prasetyo